Minggu, 19 Oktober 2014

asal usul reog ponorogo

Asal Mula Reog Ponorogo - Jawa Timur
 
Dahulu kala ada seorang puteri yang cantik jelita bernama Dewi Sanggalangit. Ia puteri seorang raja yang terkenal di Kediri. Karena wajahnya yang cantik jelita dan sikapnya yang lemah lembut banyak para pangeran dan raja-raja yang ingin meminangnya untuk dijadikan sebagai istri.

Namun sayang Dewi Sanggalangit nampaknya belum berhasrat untuk berumah tangga. Sehingga membuat pusing kedua orang tuanya. Padahal kedua orang tuanya sudah sangat mendambakan hadirnya seorang cucu. “Anakku, sampai kapan kau akan menolak setiap pangeran yang datang melamarmu?” tanya Raja pada suatu hari.

Ayahanda… sebenarnya hamba belum berhasrat untuk bersuami. Namun jika ayahanda sangat mengharapkan, baiklah. Namun hamba minta syarat, calon suami hamba harus bisa memenuhi keinginan hamba.

Lalu apa keinginanmu itu?

Hamba belum tahu…

Lho? Kok aneh…?” sahut Baginda.

Hamba akan bersemedi minta petunjuk Dewa. Setelah itu hamba akan menghadap ayahanda untuk menyampaikan keinginan hamba.

Demikianlah, tiga hari tiga malam Dewi Sanggalangit bersemedi. Pada hari keempat ia menghadap ayahandanya.

Ayahanda, calon suami hamba harus mampu menghadirkan suatu tontonan yang menarik. Tontonan atau keramaian yang belum ada sebelumnya. Semacam tarian yang diiringi tabuhan dan gamelan. Dilengkapi dengan barisan kuda kembar sebanyak seratus empat puluh ekor. Nantinya akan dijadikan iringan pengantin. Terakhir harus dapat menghadirkan binatang berkepala dua.

Wah berat sekali syaratmu itu!” sahut Baginda.

Meski berat syaratnya itu tetap diumumkan kepada segenap khalayak ramai. Siapa saja boleh mengikuti sayembara itu. Tidak peduli para pangeran, putera bangsawan atau rakyat jelata.

Para pelamar yang tadinya menggebu-gebu untuk memperistri Dewi Sanggalangit jadi ciut nyalinya. Banyak dari mereka yang mengundurkan diri karena merasa tak sanggup memenuhi permintaan sang Dewi.

Akhirnya tinggal dua orang yang menyatakan sanggup memenuhi permintaan Dewi Sanggalangit. Mereka adalah Raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya dan Raja Kelanaswandana dari Kerajaan Bandarangin.

Baginda Raja sangat terkejut mendengar kesanggupan kedua raja itu. Sebab Raja Singabarong adalah manusia yang aneh. Ia seorang manusia yang berkepala harimau. Wataknya buas dan kejam. Sedang Kelanaswandana adalah seorang raja yang berwajah tampan dan gagah, namun punya kebiasaan aneh, suka pada anak laki-laki. Anak laki-laki itu dianggapnya sebagai gadis-gadis cantik.

Namun semua sudah terlanjur, Dewi Sanggalangit tidak bisa menggagalkan persyaratan yang telah diumumkan.

Raja Singabarong dari Kerajaan Lodaya memerintah dengan bengis dan kejam. Semua kehendaknya harus dituruti. Siapa saja dari rakyatnya yang membangkang tentunya akan dibunuh. Raja Singabarong bertubuh tinggi besar. Dari bagian leher ke atas berwujud harimau yang mengerikan. Berbulu lebat dan penuh dengan kutu-kutu. Itulah sebabnya ia memelihara seekor burung merak yang rajin mematuki kutu-kutunya.

Ia sudah mempunyai selir yang jumlahnya banyak sekali. Namun belum mempunyai permaisuri. Menurutnya sampai detik ini belum ada wanita yang pantas menjadi permaisurinya, kecuali Dewi Sanggalangit dari Kediri. Karena itu ia sangat berharap dapat memenuhi syarat yang diajukan oleh Dewi Sanggalangit.

Raja Singabarong telah memerintahkan kepada para abdinya untuk mencarikan kuda-kuda kembar. Mengerahkan para seniman dan seniwatinya menciptakan tontonan yang menarik, dan mendapatkan seekor binatang berkepala dua. Namun pekerjaan itu ternyata tidak mudah. Kuda kembar sudah dapat dikumpulkan, namun tontonan dengan kreasi baru belum tercipta, demikian pula binatang berkepala dua belum didapatkannya.

Maka pada suatu hari ia memanggil patihnya yang bernama Iderkala.

Hai Patih coba kamu selidiki sampai bagaimana si Kelanaswandana mempersiapkan permintaan Dewi Sanggalangit. Kita jangan sampai kalah cepat oleh Kelanaswandana.

Patih Iderkala dengan beberapa prajurit pilihan segera berangkat menuju kerajaan Bandarangin dengan menyamar sebagai seorang pedagang. Mereka menyelidiki berbagai upaya yang dilakukan oleh Raja Kelanaswandana. Setelah melakukan penyelidikan dengan seksama selama lima hari mereka kembali ke Lodaya.

Ampun Baginda. Kiranya si Kelanaswandana hampir berhasil mewujudkan permintaan Dewi Sanggalangit. Hamba lihat lebih dari seratus ekor kuda kembar telah dikumpulkan. Mereka juga telah menyiapkan tontonan yang menarik, yang sangat menakjubkan.” Patih Iderkala melaporkan.

Wah celaka! Kalau begitu sebentar lagi dia dapat merebut Dewi Sanggalangit sebagai istrinya.” kata Raja Singabarong. “Lalu bagaimana dengan binatang berkepala dua, apa juga sudah mereka siapkan?

Hanya binatang itulah yang belum mereka siapkan. Tapi nampaknya sebentar lagi mereka dapat menemukannya.” sambung Patih Iderkala.

Raja Singabarong menjadi gusar sekali. Ia bangkit berdiri dari kursinya dan berkata keras.

Patih Iderkala! Mulai hari ini siapkan prajurit pilihan dengan senjata yang lengkap. Setiap saat mereka harus siap diperintah menyerbu ke Bandarangin.

Demikianlah, Raja Singabarong bermaksud merebut hasil usaha keras Raja Kelanaswandana. Setelah mengadakan persiapan yang matang, Raja Singabarong memerintahkan prajurit mata-mata untuk menyelidiki perjalanan yang akan ditempuh Raja Kelanaswandana dari Wengker menuju Kediri. Rencananya Raja Singabarong akan menyerbu mereka di perjalanan dan merampas hasil usaha Raja Kelanaswandana untuk diserahkan sendiri kepada Dewi Sanggalangit.

Raja Kelanaswandana yang memerintah kerajaan Wengker berwajah tampan dan bertubuh gagah. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana. Namun ada wataknya yang tidak baik, ia suka mencumbui anak laki-laki. Ia menganggap anak laki-laki yang berwajah tampan dan bertubuh molek itu seperti gadis-gadis remaja. Hal ini sangat mencemaskan pejabat kerajaan dan para pendeta. Menimbulkan kesedihan bagi para rakyat yang harus kehilangan anak laki-lakinya sebagai pemuas nafsu Raja.

Patih Pujanggeleng dan pendeta istana sudah berusaha menasehati Raja agar meninggalkan kebiasaan buruknya itu namun saran mereka tiada gunanya. Raja tetap saja mengumpulkan puluhan anak laki-laki yang berwajah tampan.

Pada suatu hari Raja Kelanaswandana memanggil semua pejabat kerajaan dan para pendeta. Ia berkata bahwa ia akan menghentikan kebiasaannya jika dapat memperistri Dewi Sanggalangit dari Kediri. Sebab semalam ia mimpi bertemu dengan gadis cantik jelita itu dalam tidur. Menurut para Dewa gadis itulah yang akan menghentikan kebiasaan buruknya mencumbui anak laki-laki.

Seluruh pejabat dan pendeta menyetujui kehendak Raja yang ingin memperistri Dewi Sanggalangit. Maka ketika mereka mendengar persyaratan yang diajukan Dewi Sanggalagit, mereka tiada gentar, seluruh kawula kerajaan, baik para pejabat, seniman, rakyat biasa rela bekerja keras guna memenuhi permintaan Dewi Sanggalangit.

Karena mendapat dukungan seluruh rakyatnya maka dalam tempo yang tidak begitu lama Raja Kelanaswandana dapat menyiapkan permintaan Dewi Sanggalangit. Hanya binatang berkepala dua yang belum didapatnya. Patih Pujanggeleng yang bekerja mati-matian mencarikan binatang itu akhirnya angkat tangan, menyatakan ketidaksanggupannya kepada Raja.

Tidak mengapa!” kata Raja Kelanaswandana. ”Soal binatang berkepala dua itu aku sendiri yang akan mencarinya. Sekarang tingkatkan kewaspadaan, aku mencium gelagat kurang baik dari kerajaan tetangga.

Maksud Baginda?” tanya Patih Pujanggeleng penasaran.

Coba kau menyamar jadi rakyat biasa, berbaurlah dengan penduduk di pasar dan keramaian lainnya.

Perintah itu dijalankan, maka Patih Pujanggeleng mengerti maksud Raja. Ternyata ada penyusup dari kerajaan Lodaya. Mereka adalah para prajurit pilihan yang menyamar sebagai pedagang keliling. Patih Pujanggeleng yang juga mengadakan penyamaran serupa akhirnya dapat mengorek keterangan secara halus apa maksud prajurit Lodoya itu datang ke Bandarangin.

Prajurit Lodaya merasa girang setelah mendapatkan keterangan yang diperlukan. Ia bermaksud kembali ke Lodoya. Namun sebelum melewati perbatasan, anak buah Patih Pujanggeleng sudah mengepungnya, karena prajurit itu melawan maka terpaksa para prajurit Bandarangin membunuhnya.

Patih Pujanggeleng menghadap Raja Kelanaswandana.

Apa yang kau dapatkan?” tanya Raja Kelanaswandana.

Ada penyusup dari kerajaan Lodaya yang ingin mengorek keterangan tentang usaha Baginda memenuhi persyaratan Dewi Sanggalangit. Raja Singabarong hendak merampas usaha Baginda dalam perjalanan menuju Kediri.

Kurang ajar!“ sahut Raja Kelanaswandana. “Jadi Raja Singabarong akan menggunakan cara licik untuk memperoleh Dewi Sanggalangit. Kalau begitu kita hancurkan kerajaan Lodaya. Siapkan bala tentara kita.

Sementara itu Raja Singabarong yang menunggu laporan dari prajurit mata-mata yang dikirim ke Bandarangin nampak gelisah. Ia segera memerintahkan Patih Iderkala menyusul ke perbatasan. Sementara dia sendiri segera pergi ke tamansari untuk menemui si burung merak, karena pada saat itu kepalanya terasa gatal sekali.

Hai burung merak! Cepat patukilah kutu-kutu di kepalaku!” teriak Raja Singabarong dengan gemetaran menahan gatal.

Burung merak yang biasa melakukan tugasnya segera hinggap di bahu Raja Singabarong lalu mematuki kutu-kutu di kepala Raja Singabarong.

Patukan-patukan si burung merak terasa nikmat, asyik, bagaikan buaian sehingga Raja Singabarong terlena dan akhirnya tertidur. Ia sama sekali tak mengetahui keadaan di luar istana. Karena tak ada prajurit yang berani melapor kepadanya. Memang sudah diperintahkan kepada prajurit bahwa jika ia sedang berada di tamansari siapapun tidak boleh menemui dan mengganggunya, jika perintah itu dilanggar maka pelakunya akan dihukum mati.

Karena tertidur ia sama sekali tak mengetahui jika di luar istana pasukan Bandarangin sudah datang menyerbu dan mengalahkan prajurit Lodaya. Bahkan Patih Iderkala yang dikirim ke perbatasan telah binasa lebih dahulu karena berpapasan dengan pasukan Bandarangin.

Ketika peperangan itu sudah merembet ke dalam istana dekat tamansari barulah Raja Singabarong terbangun karena mendengan suara ribut-ribut. Sementara si burung mereka masih terus bertengger mematuki kutu-kutu dikepalanya, jika dilihat sepintas dari depan Raja Singabarong seperti binatang berkepala dua yaitu berkepala harimau dan burung merak.

Hai mengapa kalian ribut-ribut?” teriak Raja Singabarong.

Tak ada jawaban, kecuali berkelebatnya bayangan seseorang yang tak lain adalah Raja Kelanaswandana. Raja Bandarangin itu tahu-tahu sudah berada di hadapan Raja Singabarong.

Raja Singabarong terkejut sekali. “Hai Raja Kelanaswandana mau apa kau datang kemari?

Jangan pura-pura bodoh!” sahut Raja Kelanaswandana. “Bukankah kau hendak merampas usahaku dalam memenuhi persyaratan Dewi Sanggalangit!

Hem, jadi kau sudah tahu!” sahut Raja Singabarong dengan penuh rasa malu.

Ya, maka untuk itu aku datang menghukummu!” berkata demikian Raja Kelanaswandana mengeluarkan kesaktiannya. Diarahkan ke bagian kepala Raja Singabarong. Seketika kepala Singabarong berubah. Burung merak yang bertengger di bahunya tiba-tiba melekat jadi satu dengan kepalanya sehingga Raja Singabarong berkepala dua.

Raja Singabarong marah bukan kepalang, ia mencabut kerisnya dan meloncat menyerang Raja Kelanaswandana. Namun Raja Kelanaswandana segera mengayunkan cambuk saktinya bernama Samandiman. Cambuk itu dapat mengeluarkan hawa panas dan suaranya seperti halilintar.

Jhedhaaar…!” begitu terkena cambuk Samandiman, tubuh Raja Singabarong terpental, menggelepar-gelepar di atas tanah. Seketika tubuhnya terasa lemah dan anehnya tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi binatang aneh, berkepala dua yaitu kepala harimau dan merak. Ia tidak dapat berbicara dan akalnya telah hilang. Raja Kelanaswandana segera memerintahkan prajurit Bandarangin untuk menangkap Singabarong dan membawanya ke negeri Bandarangin.

Beberapa hari kemudian Raja Kelanaswandana mengirim utusan yang memberitahukan Raja Kediri bahwa ia segera datang membawa persyaratan Dewi Sanggalangit. Raja Kediri langsung memanggil Dewi Sanggalangit.

Anakku apa kau benar-benar bersedia menjadi istri Raja Kelanaswandana?

Ayahanda… apakah Raja Kelanaswandana sanggup memenuhi persyaratan hamba?

Tentu saja, dia akan datang dengan semua persyaratan yang kau ajukan. Masalahnya sekarang, tidakkah kau menyesal menjadi istri Raja Kelanaswandana?

Jika hal itu sudah jodoh hamba akan menerimanya. Siapa tahu kehadiran hamba disisinya akan merubah kebiasaan buruknya itu.” tutur Dewi Sanggalangit.

Demikianlah, pada hari yang ditentukan datanglah rombongan Raja Kelanaswandana dengan kesenian Reog sebagai pengiring. Raja Kelanaswandana datang dengan iringan seratus empat puluh empat ekor kuda kembar, dengan suara gamelan, gendang dan terompet aneh yang menimbulkan perpaduan suara aneh, merdu mendayu-dayu. Ditambah lagi dengan hadirnya seekor binatang berkepala dua yang menari-nari liar namun indah dan menarik hati. Semua orang yang menonton bersorak kegirangan, tanpa terasa mereka ikut menari-nari dan berjingkrak-jingkrak kegirangan mengikuti suara musik.

Demikianlah, pada akhirnya Dewi Sanggalangit menjadi permaisuri Raja Kelanaswandana dan diboyong ke Bandarangin di Wengker. Wengker adalah nama lain dari Ponorogo sehingga di kemudian hari kesenian Reog itu disebut Reog Ponorogo.
 


SENI BUDAYA REOG PONOROGO DAN ASAL-USULNYA

Seni budaya Reog Ponorogo dan asal-usulnya sesungguhnya memiliki banyak versi. Hal ini sebenarnya lebih disebabkan karena terjadinya percampuran fakta sejarah yang sebenarnya, yang mengangkat tema politik, kekuasaan dan termasuk intrik di dalamnya, bercampur dengan cerita-cerita rakyat yang memang dijadikan sebagai bentuk media komunikasi dalam kisah sejarah tersebut. Media Budaya kali ini akan mencoba menggali lebih jauh mengenai Reog sebagai referensi budaya kita. 
 
Seni tradisional Reog bisa jadi diasumsikan sebagai 'reyog' dan direpetisikan menjadi 'reyag-reyog', yang dalam bahasa Jawa bisa berarti sesuatu yang berayun dan bergerak bergantian ke setiap sisi. Hal ini dapat terlihat di gerbang masuk kota Ponorogo, yang dianggap sebagai kota asal Reog. Pada gerbang tersebut terlihat warog dan gemblak, dua sosok utama pada Reog. 

Hubungan kata ‘rèyog’ dengan Reog Ponorogo, terletak pada gerakan barongan ‘Dhadhak Mêrak’ ketika dimainkan. ‘Dhadhak Mêrak’ berupa kepala macan di bawah seekor burung merak yang sedang mengembangkan keindahan ekornya. Wujud ‘Dhadhak Mêrak’ ketika dimainkan memang sangat atraktif, dengan gerakan yang gesit dan lincah menyambar-nyambar. Nah, dari gerakan ‘Dhadhak Mêrak’ yang meliuk dan menyambar ke sana ke mari itulah kemungkinan nama Reog Ponorogo bermula.
Versi-versi awal sejarah Reog sangat erat kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Majapahit menjelang keruntuhannya, awal penyebaran agama Islam, dan pola pendekatan penyebaran tersebut dengan media seni dan tradisi, dan persepsi bahwa ada tokoh dalam kisah tersebut yang berupaya membelokkan keadaan sebenarnya dalam rangka niatan mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam media seni budaya yang dimaksud.

Ki Ageng Kutu, Kerajaan Majapahit dan Permaisuri dari Cina
Pada masa pemerintahan Sang Phrabu Kerthabumi atau Raja Brawijaya V di Kerajaan Majapahit menjelang runtuhnya, diangkatlah seorang sastrawan hebat yang berasal dari Bali bernama Kutu, dan diberi gelar Pujangga Anom (dalam bahasa Jawa kuna kata pujangga sering dilafalkan dengan dengan bujangga). Beliau dianugerahkan perdikan (wilayah bebas pajak) bernama Wengker (sekarang Ponorogo) dan diberi gelar Ki Gedhe Surya Bhuwana atau Ki Ageng Surya Ngalam. Ki Ageng memutuskan menetap di perdikan Wengker dan tidak akan ke Trowulan (ibukota), sebab sudah kesal sang Raja tidak menjaga wibawanya di depan rakyat oleh karena terlalu menuruti semua kehendak sang istri, bahkan untuk semua keputusan menyangkut kerajaan. Semua upayanya menyadarkan sang raja melalui bingkisan seni dan sastra yang dikirimkan ke Trowulan tidak pernah diindahkan, dan menyimpulkan masa depan kerajaan di ambang keruntuhan.

Salah satu cara untuk memperkuat keputusannya untuk menyindir sang raja dan masa depan kerajaan adalah dengan membuat perangkat atau media seni berupa kepala macan dan seekor merak di atas kepalanya ( yang dahulu dinamakan Singa Barong). Media ini dipertontonkan kepada masyarakat kala itu (sekitar tahun 900 Saka, masyarakat masih menganut Hindu Siwa), yang mencerminkan kebodohan dan kelemahan sang raja yang disimbolkan dengan topeng macan, berada dalam kedudukan di bawah merak (di atas kepala macan) menganalogikan sang istri yang terlalu dominan. 
Ki Ageng Kutu, Adipati Bathara Kathong, dan Kiyai Mirah
Setelah tiga tahun Sang Phrabu marah karena Ki Ageng Kutu atau Ki Gede Surya Bhuwana atau Ki Ageng Surya Ngalam tidak pernah datang mengikuti upara di Trowulan, dan menganggap Sang Pujangga Anom telah makar karena mangkir kali dari upacara kerajaan. Sang Raja memerintahkan anaknya dari selir Putri Begelen bernama Raden Talijiwa. Raden Talijiwa menganggap kekuatan Wengker tidak seberapa sehingga hanya mengajak kekuatan kecil saja. Ternyata perkiraan itu salah, pasukan mereka hancur menghadapi kekuatan masyarakt Wengker yang ternyata telah dimobilisasi dengan kekuatan kanuragan dari Ki Ageng Pati yang diajarkan serta hubungan baik dengan warok sakti di situ.
Beruntung Raden Talijiwa yang kalah oleh keris sakti Ki Ageng Kutu tidak dibunuh karena dianggap sudah mati. Ternyata pada saat kondisi terluka, Raden Talijiwa dirawat oleh putri Ki Ageng Kutu. Putri Ki Ageng Kutu rupanya tertarik akan ketampanan sang Raden, dan selama masa penyembuhan sang Raden juga mengalami hal yang sama. Setelah merasa sudah sembuh, Raden Talijiwa pamit untuk bersemedi di telaga Ngebel. Dalam semedinya beliau mendapat wangsit bahwa akan ada orang yang akan membantunya menjadi penguasa semulia dewa (dalam bahasa setempat saat itu disebut dengan bathara kathong) di wilayah Wengker. 

Raden Talijiwa terkejut karena sudah ada orang yang menunggu dirinya di telaga, bernama Kiyai Mirah (sebelumnya dikisahkan bahwa Kiyai Mirah diperintahkan oleh gurunya Kanjeng Sunan Kalijaga untuk mengajarkan Islam kepada seseorang yang telah dipersiapkan oleh Sang Kuasa dan orang ini akan berperan besar menyebarkan Islam di Tanah Jawa, dialah Raden Talajiwa). Saat itu Kiyai Mirah menyatakan sanggup membantu Raden Talijiwa menjalankan titah Sang Phrabu untuk mengalahkan Wengker. Saat itu pula Raden Talijiwa tertarik dengan agama Islam dan menyatakan masuk Islam. 

Salah satu upaya yang disarankan oleh Kiyai Mirah untuk mengalahkan Ki Ageng Kutu adalah dengan menyuruh putrinya mengambil keris pusaka ayahnya, dan mengajaknya menikah di kerajaan. Upaya itu disanggupi karena keduanya memiliki rasa suka. Pada akhirnya Ki Ageng Kutu menyerah melihat kenyataan bahwa keris pusakanya telah berpindah tangan dan bahwa putrinya telah dinikahi sang Raden (tidak diketahui secara pasti nasib Ki Ageng Kutu setelah menyerah, sebagian menyatakan dia pulang ke Bali, adapula yang menyatakan dia bunuh diri atau dihukum kerajaan).

Atas keberhasilannya, Raden Talijiwa dianugerahi perdikan Wengker sebagai wilayahnya oleh Sang Phrabu dan bergelar Kanjeng Adipati Bathara Kathong. Beliau lalu membangun kadipaten baru bernama Ponorogo, sedangkan perdiken Wengker yang lama diberikan kepada Kiyai Mirah dan diberi gelar Ki Ageng Mirah. 

Kiyai Mirah, Pangeran Panji Kelana Sewandana dan Prabu Singabarong
Kiyai Mirah atau Ki Ageng Mirah yang tertarik dengan media seni dan tradisi budaya Singa Barong yang telah menjadi kebudayaan setempat saat Ki Ageng Kutu atau Ki Gedhe Surya Bhuwana atau Ki Ageng Surya Ngalam menciptakan tontonan tersebut untuk mengkritik Prabu Kertabhumi, dan berinisiatif untuk melestarikannya sekaligus menjadikan sebagai media penyebaran agama Islam. 

Beliau kemudian menciptakan sebuah hikayat atau cerita baru dengan tokoh Panji dengan memasukkan unsur-unsur Islam di dalamnya. Dalam kisah tersebut diceritakan seorang putri cantik yang mau menikah bila ada yang berhasil membawa hewan berkepala dua. Tersebut pula seorang raja bernama Prabu Singabarong dari Kediri bertemu dengan rombongan prajurit yang dipimpin oleh Pangeran Panji Kelana Sewandana. Kedua tokoh ini ternyata sama-sama ingin meminang sang putri, lalu bertempur. Ternyata Prabu Singabarong bertiwikromo menjadi siluman sakti seperti macan dan luwes seperti merak. Sang Pangeran lalu menggunakan cemeti saktinya. Prabu Singabarong bersama prajurit dan punakawannya bernama Ki Bujangganong akhirnya kalah, dan Pangeran Panji memenangkan sayembara tersebut.

Dari versi di atas bisa dilihat seperti sebuah trilogi, saling berurutan dan terdapat inti pada tiap fasenya. Kisah tersebut menjadi struktur sekaligus topik yang ditampilkan ketika seni Reog mentas baik saat ada acara kawinan, pesta besar dan festival budaya. Dan ternyata, Reog Ponorogo tidak hanya terkenal di daerah asalnya, tapi juga di luar daerah banyak kelompok seni fokus pada Reog Ponorogo. Sebagai seni budaya peninggalan sejarah, Reog Ponorogo seperti halnya Sejarah Seni Wayang Golek Sebagai Bagian Budaya Indonesia tetaplah harus dipertahankan dan dilestarikan, karena ini membuktikan bahwa Indonesia kaya akan peninggalan sejarah dan budaya sebagai bukti eksistensi bahwa nenek moyang Indonesia benar adanya.

Tanah Jawa : Asal-usul Warok Dan Reog Ponorogo



Reog adalah kesenian khas Ponorogo Jawa Timur, sebuah kabupaten agraris 200 km dari arah selatan kota Surabaya. Kemasyhuran reog merupakan kebanggan tersendiri, bahkan ketika beberapa tahun yang lalu Malaysia hampir mempatenkan seni reog ( reyog) sebagai warisan budaya luhur negerinya.

Festifal reog nasional yang digelar setiap bulan suro, sudah merupakan agenda wisata yang menghidupkan dinamika daerah Ponorogo. Dan fakta otentik, bahwa reog adalah seni asli daerah ponorogo.

Seni reog merupakan khasanah warisan bangsa, sebuah drama tari yang merakyat, karena tidak dilakukan pentas diatas panggung.

Unsur Seni reog terdiri dari penari dan penambuh gamelan. Instrumen gamelan terdiri dari kempul, kenong, ketipung, angklung dan sompret, sedangkan bentuk tarian merupakan adegan teatrikal, yang menggambarkan gerakan seekor singa, burung merak, prajurit berkuda, dan adegan kanuragan para warok. Anda bisa bandingkan Pola pergelaran yang sejenis, seperti jaranan di daerah Tulungagung dan Kediri, Jathilan di jawa Tengah bahkan Barongsai atau tari barong di Bali.




Para penari reog terdiri dari:
  • Pembarong, penari topeng kepala harimau dan burung merak seberat 50 Kg.
  • Bujang Ganong, Penari topeng yang lincah dan lucu
  • Klana Sewandana, penari topeng raja Klana Sewandana raja Bantarangin
  • Jathil, penari gagah prajurit kerajaan Bantarangin
  • Penthul tembem, dua penari topeng lucu
  • Warok, gambaran warok ponorogo.

Sebagaimana penelitian para sejarawan, bahwa pola akulturasi budaya di daerah Mataraman terasa juga pengaruhnya hingga ke Ponorogo. Maka pola pemanfatan kesenian sebagai media dakwah menjadi trend dijamanya. Sebagaimana sunan Kalijaga dengan Wayang atau sunan bonang dengan gamelanya. Kesenian sebagai media dakwah ini, juga dilakukan tokoh- tokoh Islam di Wengker ( Ponorogo ) pada waktu itu seperti Ki Ageng Mirah. Beliau mengakulturasi unsur-unsur yang ada dimasyarakat dan berlaku di jamanya. Kalau kita cermati dengan betul maka masih sangat jelas benang merah budaya China, Hindu dan Islam dalam Citra seni reog.

Simbol-simbol kepala Singa ( Barong ), Motif Naga, Merak dan pagelaran dilapangan itu sangat ada kemiripanya dengan seni Barongsai. Kemudian ada juga unsur-unsuh hindu majapahit dalam motif-motif tarianya yang mengandalkan kekuatan supranatural. sedangkan Unsur Islam mempengaruhi pada filosofi dan penamaan reog. Konon Reog ( dulu ditulis dengan lafad reyog) dari bahasa arab, Riyaqun yang artinya mencapai kebaikan pada akhirnya, sepanjang seseorang mau bertobat dan kembali ke jalan Allah. sedangkan warok berasal dari lafadl wara' yang artinya mencegah dari perbuatan maksiat dan tercela. lafad lain yang senada adalah Zuhud, artinya menahan diri untuk tidak berlebihan memanfatkan anugerah Allah yang menjurus kepada Sikap serakah. Dengan demikian akar pemikiran dan ajaran warok adalah bagaimana seseorang memiliki ketahanan luar biasa dalam pengendalian diri agar memperoleh kearifan dan perbaikan kualitas hidup baik spiritual maupun material.

Dengan demikian simbul-simbul kekasaran, kejam dan tampilan sangar, sama sekali menyimpang dari filosofi warok itu sendiri. Kekuatan warok bukan terletak pada sosoknya yang gempal, ketegasan warok bukan terletak pada tampangnya yang kasar tetapi pada kemampuanya menata hatinya sendiri. Karena pada kenyataanya, saya mengetahui dengan benar bahwa sosok warok yang sebenarnya ( bukan penari warok ), sama sekali tidak seperti yang digambarkan itu. warok memiliki postur tubuh yang cenderung kurus karena suka tirakat ( zuhud) dan raut wajahnya damai mengayomi.

Dramatisasi warok yang kadang membuat orang berfikir, bahwa tampang seperti itulah seorang warok sama sekali menyimpang dari ajaran leluhur, yang mana warisan budaya itu justru mengajak kepada keluhuran budi. Apabila sekarang, seni reog sebagai produk entertainmentpun selayaknya dibebaskan dari kemaksiatan, seperti minuman keras, dan rasa congkak ( sesongaran ).

Di akhir masa keruntuhan Majapahit, wilayah Ponorogo terjadi kegoncangan Politik dimana wilayah-wilayah majapahit banyak melepaskan diri. Disini kita mengenal sosok lokal seperti Ki Surya ngalam atau Ki Ageng Kutu disatu sisi dan para pembaru Islam yang terdiri dari Ki Ageng Mirah, dibantu oleh pendakwah dari Demak Bintara dibawah pimpinan Panembahan Agung yang kelak menjadi Bathara di Ponorogo dengan gelar Bathara Katong. Secara Politik pihak Majapahit juga mengendalikan situasi dengan peran Ki Jayadrana, yang secara bahu membahu mendirikan Kabupaten Ponorogo.

Media Dakwah Reog ini benar-benar menjadi efektif untuk mengumpulkan masa, baik untuk kepentingan politik maupun dakwah, karena dimasa yang sulit itu terjadi benturan-benturan kepentingan yang mengharuskan warga ponorogo meningkatkan kewaspadaan dan kesiagaan. Olah kanuragaan sebagai media beladiri dan tempaan jaman mengharuskan kelahiran budaya seperti yang ada sekarang. Meskipun secara fungsi telah bergeser dari sebuah media pencerahan menjadi sekedar produk pariwisata.

Untuk melengkapi seni reog dikembangkan sebah legenda tentang negeri bantar angin, yang secara sejarah sulit dikaji kebenaranya, meskipun tentulah sangat mungkin produk budaya selalu mencerminkan keadaan masyarakat pada jamanya. Konon dinegeri Bantar Angin ( Ponorogo ) dipimpin seorang raja beranama Klana Swandana. Sang raja terpesona pada Putri Songgolangit dari Kerajaan Kediri, prosesi perjalanan asmara inilah yang melahirkan legenda reog, dimana ada singa dan simbul - simbul alam lainya. Kearifan lokal ini sebenarnya menggambarkan filosofi yang agung, dimana manusia sebagai maklhuk Tuhan senantiasa menghadapi rintangan-rintangan dan harapan-harapan. Keharmonisan hidup akan selalu timbul manakala keseimbangan alam tidak terganggu, dimana ada kebaikan disitu ada keburukan, dimana ada keperkasaan disitu diperlukan kelembutan.

Maka sepakat kita semua bahwa budaya mencerminkan adat kebiasaan dan jatidiri masyarakatnya. Karakter seorang warok juga terbentuk oleh nilai- nilai yang dianut masyarakat pada umumnya. Maka sebagaimana saya paparkan diatas, bahwa sejalan dengan jamanya maka warok dimasa kini hendaklah mengejawantahkan keluhuranya meskipun dengan matra yang berbeda. Biarlah reog sebagai matra seni dan pariwisata, sedangkan warok adalah gambaran budaya dan karakter wong Ponorogo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar